Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah". [Asy Syura/42 : 52-53] Makna "engkau memberi hidayah" di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai اَلَاۤ اِنَّ اَوۡلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُوۡنَ Alaa innaa awliyaaa'al laahi laa khawfun 'alaihim wa laa hum yahzanuun Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Juz ke-11 Tafsir Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa apapun yang dikerjakan oleh manusia baik ketaatan maupun kemaksiatan, maka tidak sedikit pun terlewatkan dari pengetahuan Tuhan, lalu pada ayat ini dijelaskan tentang kesudahan orang-orang yang selalu dalam ketaatan. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, yakni kekasih Allah tidak ada rasa takut, yakni kekhawatiran pada mereka terhadap apa yang akan mereka hadapi di akhirat dan mereka tidak bersedih hati atas apa yang terjadi selama kehidupan di dunia. Di ayat ini, Allah mengarahkan perhatian kaum Muslimin agar mereka mempunyai kesadaran penuh, bahwa sesungguhnya wali-wali Allah, tidak akan merasakan kekhawatiran dan gundah hati. Wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat, dan sebagai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agama-Nya, seperti orang-orang musyrik dan orang kafir lihat tafsir Surah al-Anam/6 51-55. Dikatakan tidak ada rasa takut bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolongan-Nya tentu akan tiba, serta petunjuk-Nya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap sabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakal kepada Allah. lihat tafsir Surah al-Baqarah/2 249. Hati mereka tidak pula gundah, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang terjadi di bawah hukum-hukum Allah berada dalam genggaman-Nya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, dengan semua kenikmatan yang besar. Mereka tidak takut akan menerima azab Allah di hari pembalasan karena mereka dan seluruh sanubarinya telah dipasrahkan kepada kepentingan agama. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya lihat tafsir Surah al-Baqarah/2 2 dan al-Anfal/8 29. sumber Keterangan mengenai QS. YunusSurat Yunus terdiri atas 109 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah kecuali ayat 40, 94, 95, yang diturunkan pada masa Nabi Muhmmad berada di Madinah. Surat ini dinamai surat Yunus karena dalam surat ini terutama ditampilkan kisah Nabi Yunus dan pengikut-pengikutnya yang teguh imannya.

Rabu 04 Agu 2021 07:07 WIB. Foto: Getty Images/Rifka Hayati. Jakarta -. Umat Islam meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah SWT. Bahkan, orang yang menyekutukan Allah

Jakarta - 'Setiap yang Berjiwa Pasti Alami Kematian' merupakan salah satu firman Allah SWT tentang kematian. Dalam Al-Qur'an banyak lagi ayat yang menerangkan tentang akan dialami siapapun yang bernyawa. Momen ini tidak bisa dihindari, ditunda atau bahkan diprediksi kapan datangnya. Allah SWT memiliki hak prerogatif atas kematian Al-Qur'an banyak penjelasan terkait kematian. Hal ini menegaskan bahwa kematian menjadi titik akhir kehidupan di dunia. Untuk itu sudah menjadi kewajiban bagi umat muslim untuk berbuat baik selama masih hidup. Ayat Al-Qur'an tentang Kematian1. Surat Al Ankabut ayat 57كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَArab-Latin Kullu nafsin żā`iqatul-maụt, ṡumma ilainā turja'ụnArtinya Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. QS. Al Ankabut 57.2. Surat Al Anbiya ayat 35كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَArab-Latin Kullu nafsin żā`iqatul-maụt, wa nablụkum bisy-syarri wal-khairi fitnah, wa ilainā turja'ụnArtinya Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. QS. Al Anbiya 353. Surat Al-Jumu'ah ayat 8قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَArab-Latin Qul innal-mautallażī tafirrụna min-hu fa innahụ mulāqīkum ṡumma turaddụna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fa yunabbi`ukum bimā kuntum ta'malụnArtinya "Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." Al-Jumu'ah 8.4. Surat Ali Imran ayat 145وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ - ١٤٥Arab-Latin Wa mā kāna linafsin an tamụta illā bi`iżnillāhi kitābam mu`ajjalā, wa may yurid ṡawābad-dun-yā nu`tihī min-hā, wa may yurid ṡawābal-ākhirati nu`tihī min-hā, wa sanajzisy-syākirīnArtinya Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan pula kepadanya pahala akhirat itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. QS. Ali Imran 1455. Surat An-Nisa ayat 78{أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ}Arab-Latin Aina mā takụnụ yudrikkumul-mautu walau kuntum fī burụjim musyayyadah, wa in tuṣib-hum ḥasanatuy yaqụlụ hāżihī min 'indillāh, wa in tuṣib-hum sayyi`atuy yaqụlụ hāżihī min 'indik, qul kullum min 'indillāh, fa māli hā`ulā`il-qaumi lā yakādụna yafqahụna ḥadīṡāArtinya Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. QS. An-Nisa 78.6. Surat Az Zumar 42اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَArab-Latin Allāhu yatawaffal-anfusa ḥīna mautihā wallatī lam tamut fī manāmihā, fa yumsikullatī qaḍā 'alaihal-mauta wa yursilul-ukhrā ilā ajalim musammā, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụnArtinya Allah menggenggam jiwa seseorang ketika matinya dan menggenggam jiwa seseorang yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia menahan jiwa seseorang yang ajal kematiannya telah tiba dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. QS. Az Zumar 427. Surat Al An'am ayat 61وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهٖ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ۗحَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُوْنَ - ٦١Arab-Latin Wa huwal-qāhiru fauqa 'ibādihī wa yursilu 'alaikum ḥafaẓah, ḥattā iżā jā`a aḥadakumul-mautu tawaffat-hu rusulunā wa hum lā yufarriṭụnArtinya Dan Dialah Penguasa mutlak atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. QS. Al An'am 61.8. Surat Luqman ayat 34اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌArab-Latin Innallāha 'indahụ 'ilmus-sā'ah, wa yunazzilul-gaīṡ, wa ya'lamu mā fil-ar-ḥām, wa mā tadrī nafsum māżā taksibu gadā, wa mā tadrī nafsum bi`ayyi arḍin tamụt, innallāha 'alīmun khabīrArtinya Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Luqman 349. Surat As Sajdah ayat 11قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَArab-Latin Qul yatawaffākum malakul-mautillażī wukkila bikum ṡumma ilā rabbikum turja'ụnArtinya Katakanlah "Malaikat maut yang diserahi untuk mencabut nyawamu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan". QS. As Sajdah 1110. Surat Al-Waqi'ah ayat 83-87الْحُلْقُومَ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلكِنْ لَا تُبْصِرُونَ فَلَوْلا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ تَرْجِعُونَها إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَArab-Latin Falaulaa idzaa balaghatil hulquum. Waantum hiinaidzin tanduruun. Wanahnu aqrabu ilaihi mingkum walaakil laa tubshiruun. Falaulaa ing kuntum ghaira madiiniin. Tarjiuunahaa ing kuntum shaadiqiinArtinya Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kami ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai oleh Allah? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu kepada tempatnya jika kamu adalah orang-orang yang benar? Al-Waqi'ah 83-87.Demikian beberapa ayat Al-Qur'an tentang kematian. Sebaik-baiknya bekal di dunia adalah amal perbuatan. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga keimanan kita, agar dijemput kematian dalam keadaan husnul khatimah. Simak Video "Diduga Nistakan Agama, Pendeta Saifuddin Ibrahim Dilaporkan ke Bareskrim!" [GambasVideo 20detik] dvs/lus

Sesungguhnya wali kalian (penolong kalian) adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mereka mendirikan sholat, membayar zakat, dan mereka dalam keadaan rukuk." Sungguh Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." Penjelasan Beberapa Ayat yang Mengandung Nama Allah Ar Rahman dan Ar Rahim dan
Sesungguhnya ada perbedaan persepsi antara apa yang Al Quran jelaskan dan pandangan kebanyakan masyarakat Muslim di negara kita tentang kriteria wali Allah. Secara prinsip Islam menganggap, wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa. Mereka merasa gerak-geriknya diawasi oleh Allah sehingga selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” QS Yunus [10] 62-64.Ibnu Katsir mengatakan, pada ayat tersebut di atas Allah menjelaskan bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan selalu bertakwa. Setiap mukmin yang bertakwa adalah wali Allah yang tidak mempunyai kekhawatiran terhadap apa yang akan mereka hadapi pada hari kiamat nanti dan tidak pula bersedih akan apa yang mereka tinggalkan di dunia kriteria wali Allah yang berkembang dalam masyarakat lebih ditekankan pada aspek karomah yang ada pada diri orang yang dianggap wali Allah tersebut seperti berjalan di atas air, shalat di atas angin, bisa membaca pikiran orang, menyampaikan ramalan ramalan akan masa depan atau kesaktian-kesaktian lainnya. Kesimpulannya, mereka yang mempunyai kesaktian-kesaktian itulah yang dianggap sebagai kesaktian-kesaktian itu bisa juga dilakukan dan diperlihatkan oleh dukun, paranormal, atau tukang sihir. Dalam Islam, ada atau tidaknya karomah dalam diri seseorang bukanlah menjadi ukuran bagi seseorang dianggap sebagai wali Allah atau bukan. Ukurannya adalah kokohnya tauhid, keimanan di dalam hati dan ketakwaan yang terpancar dalam ibadahnya serta akhlak dan muamalah kepada sahabat Nabi Muhammad tidak pernah memanggil ahli ibadah di antara mereka dengan sebutan wali atau auliya Allah. Rasyid Ridha menegaskan, tidak pantas bagi seorang Muslim meyakini secara pasti bahwa seseorang yang telah meninggal itu sebagai wali Allah yang diridai-Nya dan akan mendapatkan yang dijanjikan Allah kepada hal itu merupakan sikap melampaui batas dalam hal ilmu gaib dan tergolong mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan. Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa akhir hidup seseorang tidak ada yang mengetahuinya dan kita tidak boleh memastikan seseorang mati dalam keimanan dan akan mendapatkan surga Allah kecuali ada nash dari Allah dan hanya berbaik sangka kepada semua orang beriman dan orang yang kita lihat keistiqamahannya dalam beragama. Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari menegaskan hal tersebut. Ada seorang perempuan bernama Ummul A’la, seorang perempuan Anshar yang pernah berbaiat kepada Rasulullah, berkisah bahwa pada saat itu dilakukan undian untuk melayani para Ummul A’la, ia mendapati Utsman bin Mazh’un yang kemudian tinggal di rumahnya. Sayangnya, Utsman jatuh sakit yang menyebabkan kematiannya. Di hari kematiannya, setelah dimandikan lalu dikafani, Rasulullah masuk dan Ummul A’la mengatakan, “Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib Utsman bin Mazh’un, persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu.”Rasulullah bersabda, “Dari mana kamu tahu Allah telah memuliakannya?” Ia menjawab, “Ayahku sebagai taruhan atas kebenaran ucapanku, ya Rasulullah. Lalu, siapa yang Allah muliakan?” Rasul menjawab, “Adapun dia, telah datang kematiannya. Demi Allah berharap kebaikan untuknya. Demi Allah aku sendiri tidak tahu-padahal aku ini adalah utusan Allah-apa yang nantinya akan diperlakukan terhadap diriku.”Ummul Ala mengatakan, “Demi Allah aku tidak lagi memberikan tazkiyah persaksian baik setelah itu selama-lamanya.” HR Bukhari.Apa dan bagaimana Hadits Yang Paling Mulia Tentang Sifat-Sifat Wali-Wali Allah HADITS YANG PALING MULIA TENTANG SIFAT-SIFAT WALI-WALI AllAH Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’Kelengkapan hadits ini adalah “Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya. Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong walimu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allâh. Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut agama Allâh itulah yang menang.” [al-Mâidah/555-56] Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir. Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi. Demikian pula orang yang memusuhi para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5] Sifat dan ciri-ciri wali-wali Allâh Azza wa Jalla Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/1062-63] Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat para wali-Nya. Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda … Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”[7]Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa para wali Allâh itu bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/3532]Tingkatan-tingkat itu adalah Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku dosa-dosa. Ibnu Katsir t berkata, ”Mereka yang melalaikan sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.” Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan terjatuh pada yang makruh. Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh. Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul ’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan kekuatan orang-orang mukmin. Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/4829]Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ”Para wali Allâh tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah. Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8] Para wali Allâh tidak ma’shûm terjaga dari dosa. Mereka manusia biasa terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran Muhammad dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” [az-Zumar/3933-35]Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan yang lainnya.[9] Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka Muhajirin dan Anshar, berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/5910]Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath ayat 29. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam hadits di atas, yang artinya, “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya. Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan terusir dari rahmat Allâh Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan mereka. Allâh Azza wa Jalla membagi para wali-Nya menjadi dua kelompok Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib. Ini mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada para hamba-Nya. Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah amalan-amalan wajib. Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla tetapi tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia berkata, ”Kami tidak menyembah mereka melainkan berharap agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/393]Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengklaim mereka anak-anak dan kekasih[10] Allâh Azza wa Jalla , padahal mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam hadits di atas, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam dua tingkatan Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn pertengahan atau golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .” ’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya, ”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11] Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari yang makruh dan bersikap wara’ takwa. Sikap itu menyebabkan seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya. Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad keluar dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/554]Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta. Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak pengganti untuknya. Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi. Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia, padahal dunia dan seisinya disisi Allâh Azza wa Jalla tidak lebih berharga dari satu helai sayap seekor nyamuk. Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman dalam al-Maidah/554 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu mereka juga mencintai para wali Allâh sehingga mereka bergaul dengan para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap berfirman مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…” [al-Fath/4829]Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits, عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[12] Diantara sifat wali Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya al-Maidah/554 diatas, yang artinya,“Dan yang tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti cintanya tidak dalam firman-Nya al-Maidah/554 tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.Wallahu a’lam bish shawab.
Sesungguhnyasunnah kami adalah menikah. Sejelek-jelek kalian adalah orang yang membujang, dan orang yang paling hina dari kalian adalah yang mati dalam keadaan membujang. "Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat

Orang Nasrani selalu bicara tentang kematian Isa di kayu salib. Tetapi mereka salah. Nabi Isa tidak mati disalib! Orang Nasrani yang saya kenal mengutip ayat-ayat Injil sebagai buktinya. Misalnya, “Dan Yesus [Isa Al-Masih] berkata, Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga’” Injil, Lukas 21-22. Tapi, mereka salah! Injil yang mereka pakai sudah dipalsukan. Apa yang Al-Quran Katakan Setujukah Nabi Isa Tidak Mati? Dalam Al-Quran orang-orang Yahudi dengan jelas mengatakan, “Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah” – padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka . . . mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa . . .” Qs 4157-158. Mengapa Al-Quran dan Injil Berbeda? Saya kesal tetapi juga bingung. Karena Al-Quran membenarkan bahwa Injil adalah wahyu, petunjuk dan cahaya dari Allah Qs 546. Saya memutuskan untuk mempelajari Injil dan Al-Quran agar saya bisa membuktikan kesalahan orang Nasrani. Apa yang saya temukan mengejutkan saya. Injil Menyatakan Nabi Isa Mati Saya menemukan bahwa sepertiga dari empat Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes fokus pada minggu ketika Isa disalibkan. Saya tidak bisa mempercayai bahwa bagian utama Injil yang menceritakan peristiwa-peristiwa kehidupan Isa Al-Masih dari empat penulis berbeda telah dipalsukan. Lalu, saya membaca bahwa 10 hari setelah Isa Al-Masih naik ke surga, para pengikut-Nya memberitahu semua orang tentang kematian dan kebangkitan-Nya Injil, Kisah Para Rasul 222-24! Ini berlebihan! Jadi saya bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya Al-Quran ajarkan tentang kebenaran Isa Al-Masih? Apakah benar nabi Isa tidak mati disalib? Mari kita lihat jawaban dibawah ini. Sebenarnya Al-Quran Mengatakan Nabi Isa Mati! Yang saya temukan lebih mengejutkan saya lagi! Isa berkata dalam Al-Quran, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali!” Qs 1933. Dan lagi, “Ingatlah, ketika Allah berfirman Wahai Isa! Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku’” Qs 355 TK. Bahkan Surah Al-Maidah 5117 menyebut kematian Isa sebagai peristiwa di masa lalu. Mungkinkah Al-Quran mengajarkan bahwa nabi Isa mati? Injil dan Al-Quran Sepakat Lalu saya cari lagi dengan lebih teliti pada Surah An-Nisa 4157-158. Sekarang saya sudah memahaminya! Al-Quran tidak menentang Injil; ia setuju dengannya! Orang-orang Yahudi berpikir bahwa mereka membunuh Isa menurut rancangan mereka sendiri. Bagi mereka terlihat bahwa mereka yang telah membunuh Isa, putra Maryam. Tetapi, mereka gagal memahami bahwa kematian Isa Al-Masih adalah rencana Allah. Dalam ketaatan pada rencana itu, Isa dengan sengaja menyerahkan nyawa-Nya. Isa Memilih untuk Memberikan Nyawanya Seperti Isa Al-Masih katakan, “Tidak seorang pun mengambilnya [nyawa-Ku] dari pada-Ku,” bukan orang-orang Yahudi atau orang-orang Roma, atau siapa pun juga. “. . . melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” Injil, Yohanes 1015,17,18. Ini sesuai dengan yang Al-Quran katakan bahwa nabi Isa tidak mati disalib karena orang-orang Yahudi membunuh-Nya atau menyalibkan-Nya. Hal itu merupakan pilihan Isa sendiri untuk mati di kayu salib. Itu adalah kehendak Allah! Saya terkagum. Namun, mengapa Isa Al-Masih mati? Dari apa yang saya baca dalam Injil, Isa mati untuk mengampuni dosa-dosa semua orang yang percaya kepada-Nya. Dan semua orang yang percaya kepada Isa akan masuk surga Injil, Yohanes 316. [Staf Isa dan Islam – Untuk masukan atau pertanyaan mengenai artikel ini, silakan mengirim email kepada Staff Isa dan Islam.] Lihat artikel ini dalam bentuk video Fokus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut Menurut Injil, apa yang Isa ramalkan akan terjadi kepada-Nya pada akhir hidup-Nya di bumi? Bagaimana kita seharusnya memahami Surah An-Nisa 4157-158, sehingga sesuai dengan Surah Maryam 1933, Surah Al-Imran 355, dan Surah Al-Maidah 517? Siapa yang membuat keputusan bahwa Isa akan mati? Mengapa Allah mengijinkan hal ini? Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus. Artikel Terkait Berikut ini link-link yang berhubungan dengan artikel di atas. Jika Anda berminat, silakan klik pada link-link berikut Apakah Al-Quran Mengatakan Isa Al-Masih Tersalib? Bukti-Bukti Kematian Isa Al-Masih di Salib Islam, Kristen Bertanya, “Benarkah Isa Al-Masih Wafat?” Fakta Kematian Isa Al-Masih Apakah Isa Al-Masih Benar-Benar Disalibkan? Video Empat Bukti Kematian Isa Al-Masih Di Salib Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.” Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel “Benarkah Ayat Al-Quran Meyatakan Nabi Isa Tidak Mati?”, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke 0812-8100-0718

Sesungguhnyawali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (QS Yunus Ayat 62-64) Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah صلى الله عليه Jakarta - Wali Allah SWT dalam Al Quran ternyata menjadi salah satu topik yang kerap dipertanyakan netizen. Dikutip dari situs Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam UII, wali Allah kerap identik dengan mereka yang memiliki karomah."Al Quran menjelaskan wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong agama Allah SWT, atau orang yang didekati atau orang yang ditolong Allah SWT," ujar penulis Anas Ahmad Rahman yang saat itu menjadi mahasiswa Magister Ilmu Agama Islam MIAI yang dimiliki para wali Allah SWT adalah anugerah dari Tuhan untuk hambaNya. Pada hakikatnya karomah para wali Allah SWT itu tidaklah dapat dipelajari. Karomah atau kelebihan para wali Allah sempat dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. "Karomah wali adalah sebuah pemberian dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang shalih tanpa ia bersusah payah darinya. Berbeda dengan seorang yang menggunakan ilmu hasil dari persekutuannya dengan syaitan, maka ia akan bersusah payah untuk melakukannya," ujar penulis mengutip Ibnu Quran telah menjelaskan wali Allah SWT dalam ayat-ayatnya. Dengan penjelasan ini diharapkan masyarakat tak lagi bingung terkait sosok wali allah Al Quran yang menjelaskan wali Allah adalah1. Ali 'Imran ayat 31قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌArab latin Qul ing kuntum tuḥibbụnallāha fattabi'ụnī yuḥbibkumullāhu wa yagfir lakum żunụbakum, wallāhu gafụrur raḥīmArtinya "Katakanlah "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."2. Al-Maidah ayat 54يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌArab latin Yā ayyuhallażīna āmanụ may yartadda mingkum 'an dīnihī fa saufa ya`tillāhu biqaumiy yuḥibbuhum wa yuḥibbụnahū ażillatin 'alal-mu`minīna a'izzatin 'alal-kāfirīna yujāhidụna fī sabīlillāhi wa lā yakhāfụna laumata lā`im, żālika faḍlullāhi yu`tīhi may yasyā`, wallāhu wāsi'un 'alīmArtinya "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui."3. Yunus ayat 62 dan 6362. أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ63. ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَArab latin62. Alā inna auliyā`allāhi lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn63. Allażīna āmanụ wa kānụ yattaqụnArtinya62. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu tersebut, tiap muslim juga bisa mempelajari ciri-ciri dan karakter seorang wali Allah SWT. Sifat ini bisa jadi bahan untuk terus belajar menjadi orang yang lebih dalam Al Quran yang menjelaskan wali Allah adalahOrang-orang yang ittiba mengikuti Sunnah RasulullahLemah lembut kepada sesama mukminTegas terhadap orang-orang kafirBerjihad di jalan Allah SWTTidak takut terhadap celaan si pencelaTidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah SWTSelalu menjaga keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah Allah SWT tidak identik dengan mereka yang bisa jalan di air, terbang, atau punya kelebihan lain. Al Quran menjelaskan wali Allah adalah mereka yang selalu berusaha dekat dengan Allah SWT dan menjalankan sunnah nabinya. row/erd

Melaluikata-kata mutiara Islami tentang kematian, kamu juga akan memahami seberapa penting mempersiapkan amal baik untuk bekal di akhirat kelak. Berikut 35 kata-kata mutiara Islami tentang kematian, yang dapat memberikanmu arahan menjadi pribadi yang baik, dikutip dari MyIslam, Selasa (10/11/2020). 2 dari 5 halaman.

Pertanyaan Sebelumnya, saya minta maaf dahulu sebelumnya melontarkan beberapa pertanyaan ini. Pertama Nabi dan para makhluk lainnya selain Allah, apakah secara mutlak bisa berada di setiap tempat di segala waktu? Kedua Apakah wali orang yang sudah meninggal dunia boleh melalui perantaraan seseorang di setiap waktu, misalnya Demi kehadiran Ali? Saya minta disertakan berbagai dalil dari hadits dan ayat yang berkaitan. Teks Jawaban Pertama-tama, ada sedikit kritikan kami terhadap ucapan "selain Allah," dalam pertanyaan. Harus diberikan teguran sedikit di sini, karena bisa dipahami bahwa Allah itu adalah makhluk juga, meskipun kami yakin Anda tidak berkeyakinan semacam itu. Pertama Allah berfirman "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula. . Az-Zumar 30 Juga firman Allah "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang murtad Barangsiapa yang berbalik ke belakang.." Az-Zumar 44 Juga firman Allah "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang murtad Barangsiapa yang berbalik ke belakang.." Al-Baqarah 144 Abu Bakar Shiddiq dalam khutbah beliau setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan "Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu selalu Hidup dan tak pernah mati." HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya Seluruh dalil-dalil ini dan sejenisnya menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa, tak ubahnya seperti manusia lainnya. Beliau meninggal dunia, sebagaimana juga manusia lainnya. Beliau tidak kekal di dunia, sebagaimana halnya siapapun yang hidup sebelum beliau. Siapa saja yang mengeluarkan Nabi dari lingkaran kemanusiaannya dan mengklaim bahwa beliau selalu ada di setiap tempat, orang itulah yang harus dimintai dalil. Dari mana ia mendapatkan ilmu bahwa Nabi itu selalu ada di setiap tempat, bahkan juga di setiap waktu? Bukan itu saja, bahwa ia sampai mengklaim bahwa itu juga merupakan eksistensi Allah. Sungguh itu satu kekufuran, penyimpangan dan kesesatan. Karena konsekuensinya, bahwa Allah itu juga ada di tempat-tempat kotor. Sungguh Maha Suci Allah dari semua yang mereka ucapkan itu. Yang kedua Hendaknya Anda membaca kitab Fathul Majied Syarah dari Kitab At-Tauhid tulisan Syaikh Abdurrahman bin Husain. Allah berfirman " Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk naar Jahannam dalam keadaan hina dina". Al-Mukmin 60 Harus diketahui, bahwa doa dan memohon itu adalah ibadah, sebagaimana dalam hadits "Doa itu adalah ibadah." Riwayat At-Tirmidzi. Doa itu tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah. Adapun permohonan, boleh diperuntukkan kepada selain Allah dalam sebagian urusan, dengan dua syarat Pertama, merupakan hal yang mungkin dan kemampuan manusia melakukannya. Seperti memohon seseorang untuk memberikan sejumlah harta. Adapun apabila yang diminta itu di luar kemampuan manusia, maka tidak boleh dimohon. Misalnya kita meminta agar seseorang dijadikan penghuni Surga. Itu tidak boleh, meskipun orang itu adalah seorang mukmin yang bertakwa. Kedua Hendaknya orang yang dimintai sesuatu itu memiliki kemampuan. Maka tidak boleh memohon sesuatu kepada orang yang sudah meninggal dunia. Firman Allah " Dan orang-orang yang kamu seru sembah selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.." Al-Faathir 13 Demikian juga firman Allah " Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada menendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.." Al-Faathir 14
Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya. Mereka bergembira dengan karunia yang Allah anugerahkan kepadanya dan bergirang hati atas (keadaan) orang-orang yang berada di belakang yang belum menyusul mereka, yaitu bahwa tidak ada
SIFAT WALI-WALI ALLAH TA’ALAOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.’Kelengkapan hadits ini adalahوَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ. Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang Mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka HADITS Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’, I/34, no. 1; Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, III/346; X/219; Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 1248, dan membawakan hadits ini, Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Hadits ini shahih.”Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan dari Rabbnya. Kemudian beliau bawakan hadits di atas.”[1]Hadits ini termasuk hadits yang diperbincangkan oleh para Ulama -walaupun diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya– karena ada rawi yang lemah. Akan tetapi hadits ini shahih karena ada syawâhid penguat-penguatnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. HADITS Ath-Thufi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas dalam menuju kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan sampai kepada pengenalan dan cinta-Nya, serta jalan menuju kepada-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsan, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga terkandung dalam hadits Jibril. Dan ihsan menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas, murâqabah, dan lainnya.”[2]Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atas مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِBarangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi para wali-Ku. Jadi, para wali Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi sebagaimana para musuh Allâh wajib dimusuhi dan haram Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia” [Al-Mumtahanah/601]Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allâh. Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut agama Allâh itulah yang menang.” [Al-Mâ-idah/555-56]Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya adalah orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, mereka rendah hati terhadap kaum Mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang bahwa segala macam bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, namun semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula peperangannya terhadap Allâh Azza wa Jalla . Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dikarenakan kezhaliman mereka yang sangat besar kepada para hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di muka bumi. Demikian pula orang yang memusuhi para wali-Nya, barangsiapa memusuhi mereka maka ia telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5] SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/1062-63]Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam ayat ini sifat wali-wali-Nya. Sifat pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan sifat kedua, mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika menjelaskan sifat kedua ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaإِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِيْ الْمُتَّقُوْنَ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْاSesungguhnya orang-orang yang paling dekat denganku adalah mereka yang bertakwa. Siapa pun mereka dan di mana pun mereka[6]Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan wali Allâh adalah orang yang mengenal Allâh, selalu menaati-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”[7]Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dan sebagaimana diketahui bahwa para wali Allâh memiliki tingkatan yang dijelaskan oleh Allâh dalam firman-Nya, yang artinya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara para hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/3532]Tingkatan pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka melalaikan sebagian kewajiban dan melakukan sebagian perbuatan haram.”[8]Tingkatan kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan yang wajib-wajib, menjauhkan yang haram, akan tetapi terkadang mereka meninggalkan yang sunnah dan terjatuh pada sesuatu yang ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul, setelah itu, para Sahabat Radhiyallahu anhum. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang merekaمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًاMuhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan kekuatan orang-orang Mukmin. Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar [Al-Fath/4829]Para Sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada Allâh. arangsiapa ingin mendapatkan keridhaan Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan para Sahabat.[9]Para wali Allâh tidak ma’shûm tidak terpelihara dari dosa. Mereka sebagai manusia biasa terkadang keliru dan berbuat dosa. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran Muhammad dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” [Az-Zumar/3933-35]Ayat tersebut menggambarkan tentang para wali Allâh yaitu Allâh akan memberi pahala dengan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Itu merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Di antara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul yaitu para Sahabat mereka bisa terjatuh dalam kesalahan adalah telah terjadi peperangan di antara mereka, juga terdapat ijtihad-ijtihad mereka yang keliru. Dan yang seperti ini sudah maklum diketahui oleh mereka yang sering membaca perkataan para Sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan selainnya.[10]Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendoakan mereka dengan baik, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Hasyr, ayat Sahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan dijanjikan surga, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Fath ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atasوَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُTidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”Setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memerangi-Nya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan apa yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Asal makna dari al-muwâlâh kecintaan adalah al-qurb kedekatan dan asal makna dari al-mu’âdâh memusuhi adalah al-bu’du jauh/menjauhi. Jadi para wali Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri pada-Nya dengan apa yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya, sedang para musuh-Nya ialah orang-orang yang dijauhkan dari-Nya dengan amal perbuatan mereka yang menyebabkan mereka diusir dan dijauhkan Subhanahu wa Ta’ala membagi para wali-Nya yang dekat ke dalam dua kelompok, sebagai yang mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan saja dan meninggalkan hal-hal yang yang mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan sunnah setelah mengerjakan yang dengan ini menjadi jelaslah bahwa tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , kewalian-Nya, dan kecintaan-Nya selain taat kepada-Nya dengan menjalankan yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Barangsiapa mengklaim dirinya mendapat kewalian dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kecintaan-Nya tetapi melalui selain jalan ini, berarti ia dusta dalam pengakuannya, seperti yang terjadi dengan orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , seperti dikisahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang mereka, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allâh berkata Kami tidak menyembah mereka melainkan berharap agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya” [Az-Zumar/393]Dan sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berkata, “Kami adalah anak-anak Allâh dan kekasih-kekasih-Nya.” [Al-Mâ-idah/518]Padahal mereka terus-menerus mendustakan para Rasul-Nya, mengerjakan larangan-Nya, dan meninggalkan semua hadits ini, Allâh menjelaskan bahwa para wali-Nya itu terbagi dalam dua tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban. Ini tingkatan al-muqtashidîn pertengahan dan golongan kanan. Mengerjakan kewajiban-kewajiban adalah sebaik-baik amal sebagaimana yang dikatakan Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, “Sebaik-baik amal ialah menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menjauhi apa saja yang diharamkan-Nya, dan niat yang jujur terhadap apa saja yang ada di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .”[11]Kewajiban badan yang paling agung yang diwajibkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah shalat. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَSedekat-dekat seorang hamba kepada Rabbnya ialah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.[12] Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan lagi dekat, yaitu orang-orang yang mendekat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari hal-hal yang makruh dan bersikap wara’ takwa. Sikap itu menyebabkan seorang hamba dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”Dan barangsiapa dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahkan rasa cinta kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir kepada-Nya, dan berkhidmat kepada-Nya. Itu semua menyebabkannya dekat dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan terhormat di sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ,yang artinya, “Barangsiapa di antara kamu yang murtad keluar dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui.” [Al-Mâ-idah/554]Di ayat tersebut terdapat isyarat bahwa barangsiapa berpaling dari mencintai dan mendekat kepada Allâh, serta dia tidak peduli, maka Allâh akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih layak menerima pemberian itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Dalam hal ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, ” Dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,”Maksudnya mereka bergaul dengan kaum Mukminin dengan rendah hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap tegas. Tatkala mereka mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka mereka mencintai para wali-Nya yang mencintai-Nya kemudian mereka bergaul dengan para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang, dan mereka membenci musuh-musuh Allâh, seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْMuhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ” [Al-Fath/4829]Bukti kesempurnaan cinta ialah dengan memerangi para musuh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , begitu juga jihad di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan ajakan dengan senjata kepada orang-orang yang berpaling dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk kembali kepada-Nya setelah sebelumnya didakwahi dengan mengajak mereka dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala ingin membawa seluruh manusia ke pintu-Nya. Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam haditsعَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَى الْجَنَّةِ فِيْ السَّلَاسِلِAllâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[13]Firman Allâh Subhanahu wa Ta’alaوَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ“Dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.”Maksudnya, orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan sesuatu kecuali yang diridhai Allâh yang dicintainya. Ia ridha kepada siapa saja yang Dia ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, barangsiapa takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, ia tidak jujur dalam Allâh Subhanahu wa Ta’ala ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُItulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia dimaksud dengan karunia tersebut ialah tingkatan derajat orang-orang yang Dia cintai dan mereka pun mencintai-Nya dengan sifat-sifat yang telah disebutkan وَاسِعٌ عَلِيمٌ“Dan Allâh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui.”Maksudnya, Allâh Mahaluas pemberian-Nya dan mengetahui orang-orang yang berhak atas karunia-Nya kemudian Dia memberikan karunia-Nya kepada mereka serta mengetahui orang-orang yang tidak berhak atas karunia-Nya kemudian Dia tidak memberikan karunia-Nya tersebut kepada wajib dan sunnah yang paling mendekatkan seorang hamba kepada Allâh ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lainnya termasuk banyak membaca al-Qur’an, mendengarkan, merenungkannya, dan berusaha memahaminya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mentadabburi, memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Khabbab bin al-Arat Radhiyallahu anhu berkata kepada seseorang, “Mendekatlah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah bahwa engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada firman-Nya.”[14]Bagi orang-orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang lebih manis selain membaca al-Qur-an, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang mereka cintai. Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu berkata, “Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan kenyang dengan firman Rabb kalian.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa mencintai al-Qur’an, ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[15]Ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah banyak berdzikir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hati dan lisan. Membaca dzikir setelah shalat wajib, membaca dzikir setiap waktu, dzikir pagi dan petang, dan di antara ibadah-ibadah sunnah lainnya yang lebih mendekatkan hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah mencintai wali-wali Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya karena-Nya.[16]Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atasفَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَاJika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mendekatkan orang tersebut kepada-Nya dan menaikkannya dari tingkatan iman ke ihsan. Karenanya, ia menjadi hamba yang beribadah kepada Allâh dengan merasa dihadiri dan diawasi Allâh Subhanahu wa Ta’ala seperti ia melihat-Nya kemudian hatinya penuh dengan ma’rifat pengenalan kepada Allâh, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya, dan rindu kapan saja hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka kondisi tersebut menghapus apa saja selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari hati seorang hamba, dan ia tidak lagi punya keinginan kecuali apa yang diinginkan Rabbnya. Ketika itulah seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika ia mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , “Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul menitisnya Allâh kepada makhluk atau ittihad manunggaling kawula gusti atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah mengisyaratkan kepada salah satu rahasia tauhid, bahwa kalimat lâ ilâha illallâh maknanya ialah bahwa seorang hamba tidak menuhankan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam cinta, harapan, takut, dan taat. Jika hatinya merealisasikan tauhid yang sempurna, maka di hatinya tidak ada lagi cinta kepada apa yang tidak dicintai Allâh dan tidak ada benci kepada apa yang tidak dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa kondisi hatinya seperti ini, organ tubuhnya tidak bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sesungguhnya dosa itu terjadi karena cinta kepada apa yang dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala atau benci kepada apa yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Itu terjadi karena cinta hawa nafsu didahulukan atas cinta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan takut kepada-Nya. Sifat seperti ini merupakan aib dalam tauhid yang sempurna, akibatnya seorang hamba lalai terhadap sebagian kewajiban atau mengerjakan sebagian larangan. Sedang hati orang yang merealisasikan tauhid kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan pada apa saja yang diridhai-Nya.[17]Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atasوَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُJika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti orang yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan didekatkan kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya; Jika ia berdoa kepada-Nya maka Dia mengabulkan sekali di antara generasi Salaf yang terkenal doanya dikabulkan. Disebutkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr Radhiyallahu anhu memecahkan gigi depan seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr Radhiyallahu anhu menawarkan diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun kabilah wanita tersebut menolak. Kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, namun kabilah wanita tersebut menolak kemudian Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan dilakukan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan? Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, tidak akan dipecahkan gigi depannya.” Kabilah wanita itu pun ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaإِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُSesungguhnya di antara para hamba Allâh ada orang yang jika bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya.[18]Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang doanya terkabul. Pada suatu hari ia didustakan oleh seseorang kemudian ia berkata, “Ya Allâh, jika orang tersebut berkata bohong, panjangkan usianya, dan hadapkan ia pada fitnah-fitnah.” Ternyata orang tersebut mendapati itu semua. Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata, “Aku orang lanjut usia, mendapatkan fitnah, aku terkena doa Sa’ad.”[19]Seorang wanita bertengkar dengan Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu di lahan Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu . Wanita tersebut mengklaim bahwa Sa’id Radhiyallahu anhu mengambil lahan tersebut darinya kemudian Sa’id Radhiyallahu anhu berkata, “Ya Allâh, jika wanita tersebut bohong, butakan matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut buta. Ketika pada suatu malam ia berjalan di lahannya, ia jatuh di sumur di lahannya kemudian meninggal dunia.[20]Al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam satu detasemen lalu anggota detasemen tersebut kehausan. Lantas al-Ala’ Radhiyallahu anhu shalat dan berdoa, “Ya Allâh, wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami para hamba-Mu dan di jalan-Mu kami memerangi musuh-Mu, karenanya, berikanlah air kepada kami hingga kami dapat minum dan berwudhu’ dengannya dan janganlah berikan sedikit pun air itu kepada seorang pun selain kami.” Detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan sungai dari air hujan yang memancar lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang dari sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali ke sungai tersebut, namun tidak melihat apa-apa di dalamnya dan sepertinya di tempat tersebut tidak pernah ada air.[21]Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau disebutkan semuanya. Sebagian besar orang-orang yang doanya dikabulkan dari generasi Salaf bersabar atas musibah, memilih pahalanya, mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut, dan tidak berdoa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar musibah tersebut dihilangkan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsiوَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُAku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang Mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kematian para hamba-Nya seperti yang Dia firmankanكُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِSetiap yang bernyawa akan merasakan mati” [Ali Imran/3185]Kematian ialah berpisahnya ruh dari badan dan tidak terjadi kecuali dengan sakit yang sangat luar biasa, bahkan kematian merupakan sakit paling pedih yang menimpa seorang hamba di bin al-Khathab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu, “Jelaskan kematian kepadaku!” Ka’ab berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Kematian itu seperti pohon besar dan berdurinya yang masuk ke dalam kerongkongan seseorang, lalu duri-duri itu menempel di uratnya, kemudian ditarik keluar oleh laki-laki yang kuat, tercabutlah apa yang tercabut, dan tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian Umar Radhiyallahu anhu menangis.[22]Ketika Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal dunia, anaknya bertanya tentang ciri-ciri kematian, kemudian Amr Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh! Kedua lambungku sepertinya berada di sebuah bangku, aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan sepertinya ada ranting berduri ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[23]Jika kematian dengan rasa sakit luar biasa seperti itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya kepada seluruh hamba-Nya. Kematian merupakan keniscayaan bagi mereka, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak suka menyakiti dan menyusahkan orang Mukmin. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menamakan itu sebagai keragu-raguan terkait dengan orang Mukmin. Sedang para Nabi, mereka tidak meninggal dunia hingga diberi hak memilih. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaوَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْمَوْتُ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللهِ وَكَرَامَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ وَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُAkan tetapi seorang Mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya, karenanya, tidak ada sesuatu yang paling ia sukai daripada apa yang ada di depannya. Ia pun merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya[24]Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang makna at-taraddud dalam hadits yang menjelaskan tentang wali-wali Allâh, “Ini adalah hadits yang paling mulia yang menjelaskan tentang sifat-sifat para wali Allâh. Sekelompok orang telah menolak bagian akhir dari hadits ini dan mengatakan, Allâh tidak boleh disifati dengan keragu-raguan, karena sesungguhnya orang yang ragu adalah orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari mereka mengatakan, “Bahwa Allâh diperlakukan dengan perlakuan yang penuh keraguan!”Penjelasannya adalah, sabda Rasul-Nya adalah benar dan tidak ada yang paling mengetahui tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala , paling sayang terhadap umat, paling fasih dan paling jelas penerangannya daripada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam. Kalau sudah begitu, maka orang yang mengingkarinya termasuk manusia yang paling sesat, paling bodoh dan paling jelek akhlaknya. Dan orang yang seperti ini wajib diberi pelajaran dan dihukum ta’zir. Yang wajib diperhatikan, bahwa kita wajib membersihkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari sangkaan-sangkaan yang batil dan keyakinan-keyakinan yang orang yang ragu di antara kita, meskipun keragu-raguannya dikarenakan dia tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara, maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Kemudian, ini juga merupakan kebatilan, karena seseorang dari kita apabila ragu-ragu terkadang karena dia tidak mengetahui akibat dari sesuatu, dan terkadang juga karena dua perbuatan tersebut mengandung maslahat dan mafsadat. Jadi dia melakukan atas dasar maslahat, dan membenci atas dasar mafsadat dan bukan karena dia tidak mengetahui sesuatu tersebut yang dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang seperti ini juga sama dengan keinginan orang yang sakit untuk meminum obat yang tidak ia suka. Bahkan, semua yang diinginkan seorang hamba dari amal-amal soleh yang tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaحُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِSurga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka dikelilingi oleh syahwat.[25]Dan juga firman-Nyaكُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَDiwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah/2216]Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita makna dari at-taraddud keragu-raguan yang disebutkan dalam hadits. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Hambaku tiada henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya” sesungguhnya seorang hamba yang memiliki keadaan seperti ini ia akan dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan mendekat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan yang wajib-wajib dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan yang sunnah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala cintai dan mencintai pelakunya. Maka dengan demikian ia telah mengerjakan apa-apa yang dia mampu dari hal-hal yang dicintai Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mencintainya karena pekerjaan hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, di mana Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan membenci apa-apa yang dibenci hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga benci terhadap kejelekan yang menimpa hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh Subhanahu wa Ta’ala membenci kematian agar bertambah kecintaan-Nya terhadap Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Meskipun demikian Allâh juga tidak suka untuk menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Maka jadilah kematian tersebut dikehendaki dari satu sisi dan tidak disukai dari sisi lain. Dan ini merupakan hakikat dari at-taraddud, sesuatu yang diinginkan dari satu sisi dan dibenci dari sisi lain meskipun harus ada yang kuat dari dua sisi tersebut, sebagaimana kuatnya kematian yang dibarengi dengan ketidaksukaan menyusahkan hamba-Nya. Dan tidak sama antara keinginan Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk mematikan hamba-Nya yang Mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin menyusahkannya dengan keinginan Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk mematikan orang kafir yang dibenci-Nya dan menginginkan kesusahannya.[26]FAWA’ID HADITSMengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada mengerjakan yang yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah dapat menutupi kekurangan amal yang antara sebab mendapatkan cinta dari Allâh adalah dengan melaksanakan amal-amal yang wajib dan sifat mahabbah cinta bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan yang wajib-wajib dan yang sunnah, dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa dibagi oleh para ulama menjadi dua Ada wali-wali Allâh dan ada wali-wali syaitan. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa. Adapun wali syaitan adalah orang yang tidak bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengerjakan kesyirikan, bid’ah, maksiat dan meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang bagi orang-orang yang memusuhi wali-wali yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan olok-olokan, gangguan, siksa, menyakiti atau membenci mereka, maka akibatnya akan mendapat siksa dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan hamba -betapapun tinggi derajatnya- tidak boleh berhenti dari berdoa, memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan yang wajib-wajib dan sunnah sebagai sebab dikabulkannya doa seorang hamba, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ antara wali-wali Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa ada yang diberi karamah kemuliaan dengan dikabulkannya doa, dijaga, dilindungi Allâh dan karamah lainnya. Ada juga yang tidak diberi dalam hadits ini tidak terdapat sedikit pun dalil atau hujjah bagi kelompok sufi yang sesat yang berpendapat bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dalam diri Muslim wajib meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Mahatinggi, istiwa’ bersemayam di atas Arsy, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersama hamba-Nya mengetahui semua yang dilakukan makhluk-Nya.[27]Derajat Nabi dan Rasul Alaihissalam lebih tinggi di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala daripada itu pasti, semua yang bernyawa pasti mati. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai tokoh para Nabi dan Rasul Alaihissallam merasakan wajib menetapkan semua nama dan sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama dan sifat-Nya tidak sama dengan makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ/4211]Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kematian wali-Nya dan pasti terjadi, meskipun demikian Allâh juga tidak ingin menyusahkan wali-Nya. Maka ini yang dinamakan taraddud.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Majmû’ Fatâwâ X/58-59 [2] Lihat Fat-hul Bâri XI/345 karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah [3] Lihat surah Al-Baqarah ayat 278-279. [4] Lihat surah Al-Al-Mâ-idah ayat 33 [5] Diringkas dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/334-335. [6] Shahih HR. Ahmad V/235, Ibnu Hibban no. 646–at-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 2504 –Shahîh al-Mawârid, ath-Thabrani XX/no. 241, 242, dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2012. [7] Fat-hul Bâri XI/342. [8] Tafsîr Ibni Katsir VI/546. [9] Baca surat at-Taubah/9 100 [10] Qawâ’id wa Fawâ’id minal Arbaîn an-Nawawiyah hlm. 334-336. [11] Diringkas dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/336. [12] Shahih HR. Muslim no. 482, Abu Dawud no. 875, dan an-Nasai II/226 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [13] Shahih HR. Al-Bukhari no. 3010, Ahmad II/302, Abu Dawud no. 2677, dan Ibnu Hibban no. 134 –at-Ta’lîqâtul Hisân dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [14] HR. Al-Hakim II/441, kemudian ia menshahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi [15] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 8657. [16] Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/335-344. [17] Diringkas dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/345-348. [18] Shahih HR. Al-Bukhari no. 2703, Muslim no. 1675, Abu Dawud no. 4595, an-Nasai VIII/28, Ibnu Majah no. 2649, dan Ibnu Hibban no. 6457- at-Ta’lîqâtul Hisân, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. [19] HR. Al-Bukhari no. 755, dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu [20] HR. Muslim no. 1610 [139]. [21] HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ I/38, no. 12. Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/348-350 dengan ringkas. [22] Hilyatul Auliyâ’ V/401, no. 7514. [23] Thabaqât Ibni Sa’ad III/186. [24] Shahih HR. Al-Bukhari no. 6507 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. Diringkas dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/356-358. [25] Shahih HR. Ahmad III/153, Muslim no. 2822, dan at-Tirmidzi no. 2559 dari Anas bin Malik rahimahullah [26] Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah XVIII/129-131 dengan sedikit diringkas. Lihat juga Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah IV/191-192. [27] Tentang Allah istiwa’ di atas Arsy dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya, baca buku penulis “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hlm. 205-211 cet. XV, th. 2016/1437H, Penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i–Jakarta JDqPCO9.
  • zp89d2akz5.pages.dev/305
  • zp89d2akz5.pages.dev/101
  • zp89d2akz5.pages.dev/1
  • zp89d2akz5.pages.dev/267
  • zp89d2akz5.pages.dev/295
  • zp89d2akz5.pages.dev/369
  • zp89d2akz5.pages.dev/163
  • zp89d2akz5.pages.dev/179
  • zp89d2akz5.pages.dev/17
  • ayat sesungguhnya wali allah itu tidak mati